Friday, February 24

Semesta Mendukung

Ini sebuah konsep yang saya dengar pagi ini di radio Smart 95.9 FM dari Yohanes Surya Ph.D, Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang telah sukses mengharumkan nama bangsa dengan menggondol 4 medali emas dalam kompetisi terakhir ini. Menurutnya, kalau kita punya keinginan yang spesifik atau target yang tinggi, alam semesta akan mendukung kita untuk mewujudkan keinginan itu. Akan datang saja bantuan tanpa disengaja untuk mendukung kita mencapai tujuan itu. Sebenarnya konsep ini sudah banyak dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, sudah sering memperkenalkan konsep ini dengan istilah berbeda.

Salah satu syarat untuk mendapatkan Mestakung ini adalah adanya titik kritis. Titik kritis inilah yang membuat kita mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengatasinya. Dia mencontohkan orang yang dikejar-kejar anjing. Serta merta orang itu akan mengeluarkan energi yang jauh lebih tinggi dari biasanya untuk melarikan diri. Saya ingat ada cerita nenek-nenek yang mampu mengangkat mobil untuk menyelamatkan cucunya yang terjebak di bawah mobil yang terbakar.

Yohanes Surya sendiri dalam perjalanannya mencapai cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai juara olimpiade fisika ini juga mengalami banyak titik kritis yang akhirnya membawanya mendapatkan Mestakung ini. Saat itu dia ingin sekali bersekolah ke Amerika. Dia pasang target sepulang dari sana untuk mengembangkan fisika di Indonesia. Dia menetapkan target tinggi itu dan menciptakan titik kritis. Karnena tidak punya uang, dia berusaha mencari tambahan dengan mengajar les privat. Dari uang yang diperolehnya, dia langsung membuat pasport. Banyak orang mentetawakannya. Lha wong keberangkatannya aja belum jelas, kok udah bikin passport. Kebetulan saat itu ada program beasiswa untuk belajar ke Amerika. Dia langsung daftar. Ikut tes, dan berhasil. Mestakung.

Dalam bisnis dan kehidupan konsep ini juga berlaku. Saya mengalami banyak pengalaman dari Mestakung ini. Saat kepepet, tidak punya pilihan, tiba-tiba ada saja "tangan Tuhan" yang membantu melalui caranya sendiri-sendiri. Pertemuan tidak sengaja, bantuan dari orang lain, informasi yang datang begitu saja, semua itu seperti mendukung kita untuk menyelesaikan masalah itu. Pengalaman bangkrut dan terusir dari Tanah Abang itu adalah titik kritis dalam perjalanan bisnis saya.

Waktu kuliah dulu, saya pernah dapat nilai D dalam mata kuliah Pemasaran Internasional. Saya harus mengulang kembali semester berikutnya. Apesnya, saya ketemu lagi dengan dosen yang sama dan untuk 2 mata kuliah sekaligus. Yang satunya adalah Seminar Pemasaran. Saat kuliah pertama, dosen ini bertanya siapa saja yang mengulang mata kuliahnya ini. Cuma saya yang mengacungkan jari. Ooops, saya posisi saya kritis nih, batin saya. Kalau kedua mata kuliah itu gagal, habislah saya. Tapi, kenyataan yang terjadi berbeda. Saya lulus untuk kedua mata kuliah itu dengan nilai A. Memang, saat itu saya berusaha keras untuk membuktikan bahwa saya bisa.

Yohanes Surya kemudian menyimpulkan, untuk mencapai kesuksesan kita harus menciptakan titik kritis itu sesering mungkin. Apakah itu dalam bentuk sasaran atau target yang tinggi. Dari titik kritis itu kita akan memaksimalkan upaya kita untuk mencapainya. Maka, tangan Tuhan melalui Mestakung itu akan muncul di saat yang tepat. Konsep Meskatung ini sudah dituangkannya dalam sebuah buku yang sudah terbit hari ini.

[sumber: Roni Uzirman]

Monday, February 13

Bahagia Tanpa Syarat

Kadang kita sering terjebak dengan cara pikir seperti ini. Cara berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah bersyarat. Contohnya: saya akan bahagia kalau sudah punya rumah sendiri, saya akan bahagia kalau sudah punya mobil, saya akan bahagia kalau punya istri cantik, saya akan bahagia kalau punya anak laki-laki, saya akan bahagia kalau....

Untuk mendapatkan bahagia bersyarat itu kita pun dengan semangat 45 siang malam mengejarnya. Tapi, ada pertanyaan lain. Apakah ada jaminan kalau syarat itu didapat, otomatis kebahagiaan itu juga tercapai? Kalau tidak bagaimana? Padahal kita sudah melakukan segala daya upaya dan pengorbanan untuk mencapainya. Ada orang yang mengorbankan harga dirinya untuk mencapai itu, misalnya dengan korupsi. Ada yang mengorbankan waktu yang berharga dengan keluarga. Ada yang mengorbankan integritas dirinya dengan menjadi penipu dan manipulator demi tujuan itu.

Kita terjebak untuk menempatkan rasa bahagia itu kepada yang bersifat materi dan di luar diri kita. Ada seorang suami yang akhirnya stress setelah membelikan mobil mewah untuk istrinya. Si istri bukannya semakin senang dan bersyukur, malah setiap hari kerjaannya ngedumel terus karena sopir pribadinya banyak tingkah. Ada seorang super kaya yang setiap hari stress memikirkan penampilannya. Dia stress karena tidak ingin berpakaian yang sama setiap hari.

Di sisi lain, ada sebuah keluarga yang berkumpul dan tertawa riang menyaksikan sebuah acara dari sebuah pesawat televisi kecil dan butut. Nampaknya keluarga itu begitu bahagia dan menikmati kegembiraan yang sederhana dan murah meriah itu.

Jadi, pada akhirnya kalau kita menggantungkan kebahagiaan itu kepada sesuatu, apakah itu benda materi, kondisi tertentu, orang lain, niscaya akan kecewa. Kebahagiaan tidak membutuhkan itu semua. Semua itu sudah ada dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan itu tidak mahal. Kebahagiaan itu bisa hadir tanpa syarat macam-macam.

Tulisan ini juga sekaligus otokritik bagi diri saya pribadi. Kadang saya juga menemukan diri saya terjebak dalam kondisi ini. Tapi minimal saya sadar, bahwa itu salah dan tidak terjebak di dalam cara berpikir seperti ini.

[sumber: Badroni Yuzirman]