“Aku sih hidup mengalir saja… ,” demikian celetuk seorang teman.
“Ya.. kalau mengalir tanpa terkendali itu namanya HANYUT…,” tukas saya menimpali teman tersebut.
Kebanyakan orang hidup mengalir mengikuti irama jaman. Kebanyakan orang pula bertanya-tanya kenapa hidupnya tak juga maju?
Suatu ketika, dalam sebuah pelatihan tentang analisis kompetitor di PT Telkom, kami membahas tentang pentingnya Scenario Planning bagi sebuah perusahaan. Diskusi tersebut sangat seru dan intens, mengingat selama ini seringkali hanya ada satu perencanaan tunggal yang menjadi target perusahaan di awal tahun.
“Scenario Planning bukan ditujukan untuk meramalkan masa depan. Tujuan sesungguhnya adalah untuk mengantisipasi berbagai keadaan yang mungkin terjadi…,” demikian kami jelaskan kepada peserta, mengutip pendapat Michael Porter dalam bukunya Competitive Advantage, mengenai kegunaan scenario planning.
Mengantisipasi, itu adalah sikap yang lebih tepat daripada sekedar ‘meramalkan’ masa depan. Bila meramalkan, maka kita membuat perkiraan hal apa yang paling mungkin terjadi. Sedangkan mengantisipasi berarti membuat berbagai gambaran kemungkinan yang bisa terjadi, kemudian mengambil strategi untuk bersiap terhadap semua yang mungkin terjadi tersebut. Dan itulah tujuan utama scenario planning.
Scenario Planning sendiri mulai populer di tahu 70-an ketika terjadi krisis harga minyak dunia yang tiba-tiba melambung tinggi. Saat itu bukan tidak ada minyak, tapi harga minyak melambung karena krisis politik di Timur Tengah. Shell, adalah perusahaan minyak yang telah menerapkan scenario planning. Di awal tahun 70-an, Shell membuat berbagai skenario yang mungkin terjadi, salah satunya adalah melambungnya harga minyak dunia, suatu kondisi yang jauh dari ramalan kebanyakan para ahli ekonomi saat itu. Dan ternyata kejadiannya adalah sesuatu yang berbeda dari kebanyakan ramalan, harga minyak melambung menyebabkan kelesuan ekonomi dunia. Shell, yang sudah menyiapkan diri dengan berbagai skenario tersebut mampu memanfaatkan keadaan, sehingga melejit menjadi 3 besar dunia. Perusahaan lain yang beruntung dalam kondisi krisis minyak saat itu adalah perusahaan-perusahaan mobil Jepang yang sukses memasarkan mobil ukuran kecil bagi pasar Amerika (salah satunya adalah Honda Civic berukuran kecil, yang tadinya dipandang skeptis akan dibeli orang Amerika).
Hidup mengalir? Itulah yang terjadi pada sebagian besar orang (dan sering berakhir menyedihkan). Sebenarnya mereka bukan tanpa rencana, namun rencana mereka tak sesuai dengan kenyataan. Jadilah mereka terhanyut oleh kehidupan. Misalnya seorang mahasiswa, biasanya dia sudah membayangkan (punya cita-cita/mimpi) bahwa nanti setelah lulus dia akan bekerja di suatu tempat dengan gaji besar, menikah dengan idamannya dan punya anak, dan begini, dan begitu seterusnya. Apa yang terjadi? Kebanyakan mimpinya tak juga terwujud. Setiap hari masih naik angkutan yang sama, pergi dan pulang pada jadwal yang sama, dan merasakan hidupnya yang sama, tak juga maju-maju. Lebih celaka lagi sering kondisi berubah mendadak menyebabkan semua rencana kacau balau dan akhirnya hanya bisa pasrah menjalani hidup. Itulah contoh kebanyakan hidup yang mengalir.
“Ya kalau mengalirnya ke laut, kalau mengalirnya ke comberan… ?” gurau saya kepada teman. Maksudnya adalah, ya kalau dalam hidup ini –yang kita mengalir di dalamnya- ternyata betul membawa kita ke kondisi yang sesuai harapan dan mimpi kita (kerja keras, naik jabatan dan naik gaji, anak-anak tumbuh cerdas, keluarga bahagia, bisa haji dan keliling eropa, dll) tentu kita senang. Bagaimana kalau sebaliknya? Sikut-sikutan di kantor, krisis ekonomi lagi, sekolah makin mahal, PHK, dll. Tentu hidup yang mengalir itu akan berakhir di comberan. Ini namanya tragedi.
Yang betul adalah hidup mengalir dengan terkendali. Ibaratnya kita sedang main arung jeram menyusuri sungai, maka kalau kita menggunakan perahu karet yang baik, dengan dayung untuk kendali, bahkan dengan helm dan jaket pelampung, tentunya jauh lebih terkendali dibandingkan kita terjun ke sungai tanpa perahu karet, tanpa dayung, tanpa jaket pelampung. Menyiapkan diri dengan rakit, dayung, dan jaket pelampung itulah sikap seorang yang hidup dengan kendali. Kita tidak mampu mengendalikan arus sungai, namun kita selalu mampu mampu untuk mengambil sikap mengendalikan perahu kita.
Nah, kembali ke pelatihan analisa kompetitor di Telkom tadi, kesimpulan kami adalah sangat penting bagi perusahaan untuk menyiapkan multi skenario, bukan sekedar skenario tunggal. Dengan adanya multi skenario itu dapat dirancang strategi yang adaptif dan mampu mengatasi apapun skenario yang akhirnya terjadi. Berpegang hanya pada skenario tunggal menjadi sangat riskan mengingat perubahan politik, ekonomi, maupun teknologi di masa global ini bisa terjadi dengan sangat cepat.
Tiba-tiba terpikir dalam benak saya, bagaimana dengan skenario untuk diri kita sendiri? Apakah kita sudah punya multi skenario untuk masa depan? Bagaimana kalau karir kita tak berjalan mulus seperti yang kita bayangkan? Bagaimana kalau kondisi berkembang ke arah yang berlawanan dengan apa yang kita harapkan? Apakah kita sudah siap?
Bagaimana dengan tahun 2007 ini? Apakah ramalan mereka yang optimis itu benar terjadi (bahwa ekonomi Indonesia akan membaik, karena kondisi makro 2006 katanya sih baik)? Atau justru ramalan mereka yang pesimis lah yang terjadi (banyak bencana, krisis ekonomi global, ekonomi riil yang stagnan, banyak PHK)? Ah, mudah saja. Kita ambil saja semua ramalan itu menjadi multi skenario. Ada skenario positif optimis, dan ada yang negatif pesimis. Kemudian ambil beberapa strategi yang bisa mengantisipasi semua kemungkinan itu.
Jadi apa multi skenario Anda? Apa yang Anda rencanakan andai ekonomi membaik dan bisnis Anda juga ikut melejit? Bagaimana pula kalau ekonomi membaik, sayangnya bisnis Anda tidak termasuk yang beruntung menikmatinya, apa strategi Anda? Bagaimana pula kalau kondisi memburuk, peluang apa yang akan muncul dan bisa Anda manfaatkan? Bagaimana kalau kondisi memburuk dan bisnis Anda pun memburuk, apa persiapan (jaga-jaga/tabungan) yang sudah Anda lakukan? Bagaimana pula skenario hidup masa depan Anda, apakah sudah punya beberapa pandangan (atau hanya skenario tunggal yang –maunya- bagus-bagus dan sukses saja)? Bagaimana kalau karir melejit, dan bagaimana pula kalau karir ternyata anjlok? Bagaimana kalau kesehatan selalu bagus, bagaimana pula bila terjadi musibah? (Bahkan bagaimana kalau semua mimpi indah itu kandas karena ternyata kita mati muda, misalnya, sudahkah kita siap?)
Skenario planning tampaknya layak kita terapkan buat kita sendiri, bukan hanya untuk perusahaan kita. Tentunya biar kita menjadi lebih bijak dan penuh kendali saat ikut mengalir dalam kehidupan ini.
[sumber: milis]